Minggu, 30 Oktober 2016

KOMPLEKS MAKAM PASUKAN PASIR



ES KELAPA MUDA & KACANG GORENG DI CINNOTABI


NASU PALEKKO DI BOLA


WAJO JALUR UTARA ADVENTURE


MARAKKO TAJENG



Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, ternyata berlaku bagi teman teman di"  MATOA " warkop yang biasanya di jadikan tempat berkumpul untuk berangkat menjadi saksi kegalaun mereka. sehingga banyak ekspresi yang liar hadir di sela sela kebosanan

jejak II

Rombongan meneruskan perjalan kerute Utara Kabupaten Wajo  yaitu kawasan Palloro kecamatan Tanasitolo dan Puang Massora di Kecamatan Maniangpajo

 kalau lagi chat.....capek bukan masalah

Jejak 1

Perjalanan teman teman “ MATOA “  dalam menelusuri jejak jejak  sejarah tentunya banyak memberikan pengalaman baru dalam kehidupan ini. Suka dan duka hadir  menyemarakkan Susana kebersamaan tersebut. Ruang hidup yang penuh kelucuan selalu menemani ritual ini. di bawah ini adalah gambar yang lucu hasil tangkapan kamera 



Jumat, 28 Oktober 2016

MAKAM ARUNG MATOA WAJO KE-XXX LA SALEWANGENG TO TENRI RUA


MAKAM ARUNG MATOA WAJO KE XXXVIII LA PADDENGNGENG


MAKAM ARUNG MATOA WAJO KE - XXIII LA TENRI LAI TO SENGNGENG



ARUNG MATOA WAJO KE - XII LA SANGKURU PATAU MULAJAJI ( SULTAN ABDUL RAHMAN )


RITUAL PERNIKAHAN




Nilai-nilai kehidupan yang diyakini suatu masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan yang dianut dan dikembangkan dari kehidupan sehai-hari.Demikian pula yang terjadi dalam  pranata kebudayaan Bugis. Dalam pandangan budaya Bugis, hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan magis dan mistis suatu budaya tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan dan sistem sosial budaya masyarakat

Selasa, 25 Oktober 2016

Komunitas “ MATOA “





Lahir sebagai bentuk kepedulian terhadap persoalan social budaya masyarakat Wajo, berawal dari kegiatan diskusi kecil yang dilakukan di warung kopi tentang bagaimana kehidupan social budaya masyarakat Wajo dulu sekarang dan di masa yang akan datang

MAKAM ASSYEIKH AL- HABIB JAMALUDDIN AL AKBAR AL- HUSAINI



fotographer 
D.Suhardiman Sunusi

SEJARAH TERPENDAM KERAJAAN WAJO



OLEH
ANDI ZAINAL ABIDIN FARID

Ini merupakan Pengantar Tulisan lahirnya buku Sejarah Wajo pada abad XV dan XVI yang  telah diujikan untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Sastra bidang Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia pada Tahun 1979 )


EDITOR
D.Suhardiman Sunusi
                                                                                   

SEKILAS TENTANG WAJO


Editor 
D.Suhardiman Sunusi

Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 600 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.

Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.