Jumat, 28 Oktober 2016

RITUAL PERNIKAHAN




Nilai-nilai kehidupan yang diyakini suatu masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan yang dianut dan dikembangkan dari kehidupan sehai-hari.Demikian pula yang terjadi dalam  pranata kebudayaan Bugis. Dalam pandangan budaya Bugis, hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan magis dan mistis suatu budaya tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan dan sistem sosial budaya masyarakat


Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.

Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.

Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).

Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).

Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama) Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.

Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng,
terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.

Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.

Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.

Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki. Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.

Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.

Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.

Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.

Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka

Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.

Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka. Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.

Kabupaten Wajo sebagai wilayah kebudayaan bugis , memiliki keragaman sejarah budaya yang cukup panjang, berada di wilayah pengunungan yang subur, pantai dan pesisir danau Tempe, tentunya  memiliki banyak kebiasaan kebiasaan ( Adat Istiadat ) yang didalamnya terdapatnya banyak peninggalan sejarah kebudayaan dan kesenian yang berkaitan dengan kelestarian Budaya 

Perkembangan dan Keberadaan Adat istiadat masyarakat wajo sudah dalam tahapan yang kritis dan terbengkelai hal ini diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan untuk menjaga kelestariannya baik secara individu , maupun secara kelompok, maka perlu dan  dibutuhkan upaya yang lebih aktif untuk menjaga dan tetap mempertahankan serta adanya upaya untuk melindunginya sebagai bagian dari paten kultural,


Adat Pernikahan di Wajo

Suku bugis yang mendiami daerah Wajo mayoritas beragama islam sehingga pernikahan yang berlaku diatur oleh adat dan hukum islam. Oleh karena itu, pernikahan yang dianggap sah oleh masyarakat Wajo adalah pernikahan yang sesuai dengan hukum pernikahan agama islam, sedangkan tata cara pelaksanaannya harus berlandaskan pada adat yang berlaku, tapi tidak menyalahi agama.

Pada zaman dahulu, terdapat bermacam-macam upacara adat dan peralatan yang digunakan  sehingga dilihat begitu banyak adat yang harus dilaksanakan. Namun dewasa ini, sudah banyak upacara adat yang ditinggalkan dengan alasan menggunakan banyak biaya , tenaga, alat, serta perlengkapan yang digunakan. Akhirnya banyak masyarakat yang meninggalkan adat tersebut dengan alasan keefektivitasan dan keefisienan serta kemajuan teknologi dalam segala bidang.

Upacara pernikahan secara adat adalah segala kebiasaan segala kegiatan-kegiatan yang telah disajikan dalam melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan kesepakatan bersama yang dianggap lebih baik dalam suku Bugis. Upacara tersebut meliputi segala upacara yang terdapat pada upacara sebelum dan sesudah akad nikah. Dan setiap upacara memiliki nilai, waktu, serta peralatan yang khas dan memiliki arti tersendiri.

Masyarakat di Wajo, memiliki kebudayaan sebagai dasar dalam mengatur tata cara kehidupan. Perbedaan yang prinsipil terdapat pada pelaksanaan setiap upacara pernikahan dari satu daerah ke daerah lain. Misalnya acara Jai Kamma yaitu salah satu upacara dimana sepasang mempelai dipakaikan satu sarung yang kemudian dijahit ujungnya.

Ritual pernikahan bagi masyarakat Wajo dipandang sangat sakral, religius dan sangat dihargai. Oleh lembaga adat yang telah lama ada mengaturnya dengan cermat.

Ritual Dalam Pernikahan di Wajo

Acara pernikahan di Wajo, dapat dikatakan berbeda dari acara pernikahan di daerah-daerah lain. Bagaimana tidak,  tata cara pernikahan di Wajo kaya akan tradisi dan adat istiadat yang sangat kental dengan hal-hal yang masih sangat tradisional. Dalam pernikahan di Wajo, ritual yang dilaksanakan terdiri dari beberapa rangkaian acara yang meliputi ritual sebelum akad nikah dan ritual setelah akad nikah.

A.        Ritual Sebelum Akad Nikah


Ritual Manre Lebbe 



Manre Lebbe atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Khatam Al-Quran adalah salah satu ritual yang dilakukan pada saat malam Tudang Penni . Dalam ritual ini, di depan calon pengantin diletakkan Sokko  (panganan dari beras ketan) dan telur.

Kemudian  calon pengantin melakukan prosesi Manre Lebbe. Dalam prosesi ini, calon pengantin mengikuti lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh guru mengaji calon pengantin semasa kecil. Hal yang sedikit berbeda pada ritual ini yaitu pada saat mengaji, calon pengantin menggunakan batang Kayu Manis untuk menunjuk lafads Al-Quran yang dibaca oleh sang guru.

Ritual Manre Lebbe ini, tidak terlalu umum bagi calon pengantin. Berbeda dengan ritual  Mappacci. Ritual Manre Lebbe ini hanya dilakukan bagi calon pengantin yang belum melaksanakan ritual ini sebelumnya. Karena ritual Manre Lebbe ini bisa saja dilakukan di luar acara pernikahan. Bahkan di Wajo, ritual Manre Lebbe  dapat dirayakan secara menkhusus.

Dan pada saat ritual Manre Lebbe telah selesai dilaksanakan, maka acara tudang penni dilanjutkan dengan ritual Mappacci .


Ritual Mappacci


Mappacci merupakan salah satu ritual adat Bugis yang dilakukan sebelum acara akad nikah dilaksanakan keesokan harinya. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia Mappacci itu artinya membersihkan diri. Baik itu membersihkan diri secara jasmani maupun secara rohani. Sejarah Mappacci dulunya dilaksanakan pertama kali oleh raja-raja Bone yang akan melangsungkan pesta pernikahan untuk membersihkan diri dan melepas masa lajang mereka dan kini sudah menjadi adat istiadat bagi masyarakat di Wajo. Bila kita mencari dasar hukum dari Mappacci di dalam Al-Qur’an maupun Hadist tidak ada terdapat didalamnya sehingga Mappacci  ini sifatnya bukan wajib juga bukan sunnah. Jika bukan sesuatu yang wajib dan sunnah jadi mubah yah kayaknya tapi tidak sampai bersifat haram. Adapun perlengkapan-perlengkapan yang disiapkan untuk ritual Mappacci memiliki makna tersendiri namun yang paling utama itu ketersediaan daun pacci yang akan digunakan nanti baik yang telah dihaluskan maupun yang masih dalam bentuk ranting-ranting kecil sebagai penghias. Perlengkapan lainnya seperti :

1.    Tai bani, lilin yang disimbolkan sebagai penerang,
2.   Beras yang telah di sangrai yang memiliki makna berkembang dengan baik,
3.   Bantal yang memiliki simbol kehormatan,
4.  Diatas bantal diletakkan sarung sutera yang dilipat segitiga dan berjumlah 7, kadang juga sampai 11 lembar. Menurut kepercayaan bugis Bone angka sebelas merupakan angka keberuntungan.
5.  Di atas sarung diletakkan pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan. Tumbuhan pisang merupakan tumbuhan yang selalu tumbuh dan berkembiang biak secara terus menerus.
6. Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai simbol harapan.
7. Kelapa yang memliki makna serba guna. Kelapa merupakan tumbuhan yang setiap anggota tumbuhan dapat dimanfaatkan.
8.Gula merah yang memiliki symbol harapan agar kelak pengantin dapat hidup harmonis

Dalam upacara Mappacci, tamu undangan yang biasanya melakukan pembersihan adalah anggota keluarga terdekat calon pengantin dan tokoh masyarakat yang terkenal di daerah tempat tinggal calon pengantin. Dan upacara Mappacci ini biasanya dilaksanakan pada malam hari, atau yang lebih di kenal dengan istilah Malam Tudang Penni.

B.        Prosesi Akad Nikah

Orang yang melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai wanita atau iman kampung atau seseorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama, seorang saksi dari pihak wanita dan pria.

Pada saat acara akad nikah, calon mempelai laki-laki duduk dengan ibu jari. Sedangkan untuk kalangan bangsawan, calon mempelai laki-laki duduk bersila di atas pangkuan Ambo Botting.

C.         Ritual Setelah Akad Nikah


Ritual  Mappasikarawa


Ritual Mappasikarawa dilakukan pada saat  akad nikah telah selesai dilaksanakan. Ritual Mappasikarawa sebagai sentuhan yang pertama bagi sang laki-laki kepada istrinya. Sentuhan ini diharuskan menyentuh bagian tubuh istrinya, bagian yang harus disentuh yaitu :

Ubun-ubun, agar laki-laki tidak diperintah istrinya. Bagian atas dada, agar kehidupan rumah tangga mereka kelak dapat diberkahi dengan rezky yang banyak. Jabat tangan atau ibu jari, artinya suami isri senangtiasa mengisi kekosongan satu sama lain.

Setelah upacara ini, pengantin laki-laki duduk di samping istrinya untuk mengikuti acara Maloange Lipa. Keluarga dari pihak perempuan melilitkan kain Widang kepada pengantin sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung, kemudian pinggiran sarung saling dipertemukan lalu dijahit tiga kali dengan benang emas atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah Genggang atau benang biasa yang bagian ujungnya tidak disimpul layaknya benang yang dipakai menjahit. Kemudian pengantin bersamaan berdiri dan melepas jahitan sarung tersebut.

Ritual ini bermakna agar kedua mempelai dapat hidup seia-sekata, bersatu padu melawan segala rintangan yang akan menjumpai mereka di masa depan nantinya.

Upacara berikutnya adalah acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin dan keluarga dekat. Selesaii memohon maaf, pengantin kemudian diantar ke pelaminan untuk bersanding.


Foto:  Google

Tidak ada komentar: