Sabtu, 21 Januari 2017

SANRO WANUA

Upacara Mappasimang Sekarang Tinggal Bayang Bayang




D Suhardiman Sunusi

Upacara merupakan manifestasi cara berfikir dan merasa amat menonjol, sehingga merupakan pula akumulasi tatacara tradisional yang amat ditaati. Penyelenggaraan upacara itu adalah pengukuhan tata tertib yang telah ada, oleh karena itu dilakukan secara tertib dan hati-hati.


Dalam kegiatan upacara, berbagai macam kegiatan yang dilakukan untuk mengukuhkan kembali ide-ide yang terkandung dalam setiap faham-faham. Salah satu penampilan yang besar peranannya pad a tiap-tiap upacara untuk mengungkapkan kembali emosi keagamaan adalah symbol-simbol yang terdapat pada tiap-tiap upacara. Simbol adalah lambang, tanda yang mengandung suatu makna.

Makna yang mengungkapkannya adalah mewakili suatu pengertian yang abstrak, luas dan bersifat unversal. Kadang-kadang simbol merupakan cara pengungkapan sesuatu yang sulit dinyatakan secara langsung.

Di lain pihak dapat pula menunjukkan suatu obyek, kejadian, sifat yang merupakan formulasi nyata dari pengalaman-pengalaman yang tetap dalam bentuk-bentuk yang dapat ditangkap, dengan demikian simbol itu mempunyai makna cultural atau sesuatu yang mengandung unsur-unsur atau pola-pola budaya.

Jadi mempelajari kegiatan - kegiatan cultural, sehubungan simbolis yang mengandung makna secara positif berarti menelaah kejadiankejadian social, religi, dan keagamaan yang umumnya bersifat abstrak untuk pengukuhannya.

Dalam pengungkapan sistem upacara-upacara tradisional, berbagai symbol upacara yang sering kita temui itu biasanya berupa : materi atau benda, dan ungkapan-ungkapan bahasa.




Dulu di  Kabupaten  Wajo, apabila salah seorang warganya akan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah, maka ia terlebih dahulu mengadakan upacara massimang (upacara pamitan) yang dipimpin oleh Sanro Wanua dengan menyiapkan seperangkat alat upacara berupa beberapa lembar daun siri dan pinang sebagai tanda pamit pada mereka. Ketika ia menyodorkan daun siri itu sebagai tanda pamit untuk berangkat ke Mekah, maka sanro membaca mantra-mantranya lalu berkata :

"Enrekko  Mekka, tujugennga sembajang
Kubalika rekko ota'~

Artinya :
Berangkatlah ke Mekah, hadiahkan saya sembayang
Dan engkau kubalas dengan lipatan daun siri"

Mengapa sanro wanua berkata demikian ?,
Sangat sulit dipahami dan dijawab dengan hanya melihat jawaban sanro itu secara sepintas saja tanpa memahami terlebih dahulu simbol-simbol bermakna itu.

Bagi mereka doa adalah bahagian sembahyang dan lipatan daun siri merupakan doa pula. Sebab menurut mereka ketika kita selesai sembahyang maka kita berdoa meminta keselamatan kepada Allah. Begitupun makna lipatan daun siri, dimana rekko sulu berbentuk huruf Alif yang dimaknai huruf Allah dan rekko massulekka berbentuk huruf lam bermakna Allah melindungi.



Olehnya itu ketika sanro berjabat tangan kepada orang yang pamit ke Mekah maka sanro itu melakukan ritus kepercayaannya dengan menahan napasnya lalu membaca mantra-mantranya kemudian melanjutkan dengan membaca Kalimat  “ la ilalha Illalah   “ ketika sampai pada kalimat lllalah khususnya huruf lam  maka mereka maknai bahwa mereka telah berada dalam "genggaman" Allah atau Allah telah member perlindungan.


Jadi dapat disimpulkan bahwa makna kata  sanro itu adalah "doakanlah saya selamat di Mekah dan saya balas pula dengan doa keselamatan dari Allah".

Tidak ada komentar: