Kisah Lanrona Majapahit serta Keberanian Panglima Perang Wajo
D. Suhardiman Sunusi
La Mannungke dikenal sebagai salah seorang
pemberani pada zaman pemerintahan Arung Matowa Wajo La Mungkace To Uddamang. Beliau
adalah seorang panglima perang La Mungkace To Uddamang. La Mannungke dengan
sikap kesatrianya dapat menghadapi lawan berdasar pada ilmu dan keberaniannya.
Beliau berasal dari bulo-bulo yaitu sebuah kampong di daerah Wajo-wajo..
Di daerah Bulo-bulo ada sebidang sawah milik La
Mannungke yang digelar LA BATTOANA. Setiap musim tanam padi sawah tersebut
selalu ditanami padi pulut (padi ketan). Padi ketan dari hasil sawah itu
menjadi berkah dan azimat bagi La Mannungke. Sebelum berangkat untuk berperang
nasi/ketan menjadi bekal utamanya dan menyebutkan BARAKKANNA PULU MANJETTINNA
LABATTOANA (berkat nasi ketan dari Labattoana).
Melawan
La Tobaja
Pada zaman pemerintahan La Mungkace To Uddamang,
ada seorang pendekar sangat terkenal keberaniannya dari daerah pesisiran
danau Tempe bagian utara yang bernama La Tobaja. Ia sangat ditakuti oleh
penduduk daerah tersebut . Setiap hari pasar, La Tobaja selalu datang
mengganggu penjual dan pembeli, terutama penjual ikan bakar.
Sifat buruk La Tobaja menyakitkan hati warga pasar
dan penduduk negeri umumnya. Karena ikan bakar yang diperjualbelikan orang
disita dengan paksa dengan memakan telur ikan lalu dibuang. Tidak seorang pun
berani melawannya, karena kesehariannya hanya memamerkan keberaniannya utuk
mencari lawan. Bahkan setiap memasuki perkampungan ia dikawal oleh seorang
penghalau dua pasang kerbau (SIAJOWA TEDONG). Siapa saja yang berani
menaklukkannya ia diberi hadiah seekor kerbau yang sengaja dibawahnya.
Penduduk negeri tersebut mendengarkan berita bahwa
di negeri Wajo ada seorang pendekar yang sangat terkenal keberaniannya bernama
La Mannungke. Keberanian La Mannungke melawan musuh yang merusak tatanan adat
dan yang melanggar hukum. Maka diutuslah beberapa orang yang dipimpin seorang ponggawa
negeri menemui La Mannungke di negeri Wajo. Setibanya di Wajo, para utusan menceritakan
perangai La Tobaja yang sering mengganggu penduduk negeri dengan sengaja
memamerkan keberaniannya setiap memasuki perkampungan. Dan meminta bantuan La
Mannungke untuk menyingkirkan La Tobaja dari negeri mereka, karena ia sangat
mengganggu ketentraman warga negeri. La Mannungke menerima kehadiran tamunya
dan menghargai permintaan penduduk tersebut dan berjanji akan menolong sesama
dari penganiayaan orang-orang munafik seperti La Tobaja.
Setelah pembicaraan selesai, La Mannungke bersama
para utusan itu berangkat menuju negeri La Tobaja . Sesampai dipinggir sungai
Wallennae dia dijemput beberapa perahu yang akan berangkat ke tempat tujuan.
Dalam perjalanan para utusan menceritakan panjang lebar tentang kelakuan La
Tobaja terhadap penduduk negeri. Tidak lama kemudian, pelayaran akan tiba di
turungeng lappae Tancungpurai (turungeng leppae adalah tempat berlabuhnya
perahu nelayan dan perahu angkutan ke berbagai penjuru. Dari jauh terlihat
penduduk negeri begitu banyak menyambut kedatangan La mannunke . mereka
berkumpul di seputaran Turungeng Lappae menunggu kedatangan La Mannungke.
La Tobaja yang telah lebih dahulu datang di tempat
tersebut menari-nari kegirangan menyambut kedatangan lawannya. Sikap sombong
dan angkuhnya merasuki jiwanya. Setelah La Mannungke turun dari perahu, La
Tobaja mengajak untuk memulai pertarungan. La Mannungke menolak tawaran La
Tobaja untuk memulai pertarungan, karena ia merasa tidak bersalah kepada
siapapun. La Tobaja dengan sikap tidak sabar ia memulai serangannya kepada La
Mannungke. Parang La Tobaja bersarang di dada La Mannungke dan melepaskan
LAPPO-LAPPO SUSUNNA (buah dadanya). La Mannungke secepatnya memungut
Lappo-lappo susunna dan meletakkan kembali di dadanya (natawe-i) seketika
bersatu tanpa bekas sedikitpun.
Penduduk negeri yang menyaksikan arena pertarungan
itu heran dan tertekun. La Mannungke balik memberi balasan, dengan sikap
gesitnya tangan besi yang memegang pedang bersarang di tubuh La Tobaja,
seketika itu pula tubuh La Tobaja tersungkur terbelah dua bersimbuh darah.
Sebagian tubuhnya tertelungkup mencium bumi dan sebelah menghadap ke langit.
Penduduk negeri yang telah menghadiri pertarungan
itu bersujud di depan La Mannungke tanda syukurnya telah terbebas dari gangguan
dari La Tobaja
Kekaguman penduduk negeri terhadap keberanian dan
Tawena La Mannungke (Tawe obat tradisional), hingga orang menyebutnya Tawe Polo
Batunna La Mannungke. Maksud dari Tawe Polo batunya adalah batu asah yang
sering dipakai mengasah parang, bila patah ia menyatuhkan kembali seperti
semula. Parang yang telah merobohkan tubuh La Tobaja disebutnya LANRONA
MAJAPAHIT (parang berasal dari Majapahit).
Gugurnya
La Mannungke
Tidak lama setelah pulang dari negeri tersebut ,
perang antara Wajo dan Gowa terjadi. La Mannungke menghadapi lawan dengan
memakai pedang rakitan MAJAPAHIT. Beliau menerima serangan dari amukan lawan,
hingga lengan tangannya lepas. Dengan kekuatan yang membabi buta, ia tidak lagi
mengenal mana lawan dan mana kawan, ia melakukan serangan tanpa waktu. Pahanya
terlepas dan jatuh di Wajo-wajo dan dikuburkan di sana, lengan kanannya jatuh
di dekat Bencenge (benteng pertahanan) dan ditanam di tempat itu juga, kuda
perangnya terus berlari hingga kepalanya jatuh di Ammassangeng dan dikuburkan
di sana, sementara badannya jatuh di Menge dan dimakamkan di Aka.
La Mannungke tewas kira-kira tahun 1521, satu tahun
setelah wafatnya Arung Matowa La Mungkace To Uddamang. La Mannungke
meninggalkan sejarah patriotisme, kesatria yag dapat dikenang oleh generasi
penerus bangsa. Beliau tewas mempertahankan hak, membela harga diri dan
membelah tanah air dan bumi pertiwi.
Sumber : I Mattalunru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar