Pahlawan dari Tana’ Tengnga Belawa
D. Suhardiman Sunusi
Kisah ini merupakan bagian dari sejarah Belawa yang berasal dari tana Tengnga.E. Tentang kehebatan seorang putera Belawa yang sangat ditakuti , Seorang raja yang kehilangan naluri
kemanusiaannya, hingga mendapatkannya kembali ketika ia mendekatkan diri pada Allah SWT
Asal
Mula Gelar Petta BOMBO
Pada
masa peralihan yang berat di daerah Belawa , I BessE Tungka' melahirkan sepasang Putera Puteri kembar yang
masing-masing diberi nama : La
Rumpang dan I
RawE. kelahiran sepasang kembar emas (dEnru Ulaweng) itu diwarnai
dengan hal-hal ajaib. Bersamaan dengan keluarnya sepasang bayi itu dari rahim
ibunya, diikuti pula dengan keluarnya dua buah benda yang menyerupai usus yang
melengket pada ari-ari. Ketika dukun
istana mengambilnya untuk ditanam bersama ari-ari, ternyata kedua benda
tersebut bernafas. Kempas-kempis bagaikan mahluk bernyawa !. Maka dibungkuslah
dengan kain putih dan diperlakukan sebagaimana halnya manusia. Lama kelamaan,
setelah sepasang kembar emasnya beranjak remaja, kedua benda tersebut kering
dan mengeras seperti baja yang menyerupai dua bilah "Tappi" (keris).
Namun anehnya, keduanya dapat bergerak sendiri sebagaimana halnya mahluk hidup,
maka disebutlah mereka sebagai : ManurungngE ri Tana Tengnga.
Setelah
menginjak umur remaja, sepasang kembar emas tersebut masing-masing dinikahkan
dengan kerabatnya. La Rumpang dinikahkan dengan dengan sepupu
satu kalinya bernama We Bunga Waru dan I RawE dinikahkan dengan Lato' Biroro, seorang pangeran
terkemuka dari Pammana yang
merupakan murid Tarekat Khalwatiah yang tekun. Setelah diboyong ke Kampiri
(Pammana), Sang Puteri ikut mendalami Tarekat dibawah bimbingan suaminya.
Sebagai santriwati, maka beliau menyesuaikan cara berpakaiannya dengan mengenakan busana
Muslimah sehingga digelari Petta PajjumbaE.
Berselang
beberapa waktu kemudian, La Rumpang Daeng Pasolong dinobatkan menjadi Datu Tana Tengnga. Namun, suatu
hal yang amat meresahkan adalah temperamentalnya yang berangasan, bahkan
cenderung sadis !. Terlebih-lebih sejak ia didampingi oleh
pengikut-pengikutnya yang senang bermuka-muka manis, berusaha menyenangkan
junjungannya dengan cara apapun berdasarkan kepentingan dirinya masing-masing.
Hal-hal
sepele yang kurang menyenangkan Raja Muda itu dapat dijadikan alasan untuk
melakukan pembunuhan. Anehnya, La Rumpang gemar melakukan pembunuhan itu dengan
kedua tangannya sendiri.
La
Rumpang Daeng Pasolong sangat pamali ketika orang menyebut namanya diluar
dengan namanya sendiri . Keganasan La Rumpang semakin menjadi-jadi. Baginda
tidak memilih waktu dan tempat, dimana saja kata pemalinya disebut orang, maka
orang tersebut harus mati di ujung tombaknya. Pada suatu kesempatan, baginda
berkunjung ke Datu Soppeng.
Namun kebiasaanya di Belawa tetap diberlakukan di Negeri Besar tersebut.
Jatuhlah korban sia-sia pada beberapa rakyat Soppeng. Maka orang-orang Soppeng
menggelarinya : Petta Bombo' (Pangeran Hantu) yang melekat dibelakang nama
baginda selamanya.
Sementara
itu, ayah bunda La Rumpang dengan tidak henti-hentinya menasehati putera yang
dikasihinya itu. Namun La Rumpang tidak menggubrisnya walaupun tidak
dibantahnya juga. Halnya dengan We
RawE Petta PajjumbaE, mengetahui tabiat saudara kembarnya yang amat
disayangnya itu, maka beliau ke Belawa untuk mengingatkan kakaknya. Tidak lama
setibanya sang putri di Belawa, beliau sakit dan wafat di Tanah kelahirannya
tersebut. Dapat diperkirakan, bahwa penyakit sang puteri disebabkan oleh
tekanan batin melihat tingkah laku saudara kembarnya yang bagaikan kesurupan
itu.
Sukar
dibayangkan betapa terpukulnya La Rumpang melihat saudara kembarnya
menghembuskan nafas terakhir dihadapannya. Nafsu angkara murka yang selama ini
mengeram di jiwanya musnah seketika, diamuk kesedihan yang mendalam. Sang
Pangeran Bengis yang biasanya ceria itu kini mengurung diri di biliknya selama
berhari-hari. Akhirnya, tibalah masanya Hidayah Allah tercurah pada hamba-Nya
yang bersungguh-sungguh menyadari kekhilafannya dengan bertaubat dan berserah
diri sepenuhnya. Akhirnya La Rumpang Petta Bombo' kini insyaf, berubah menjadi
Pangeran yang arif lagi bijaksana, namun gelarnya sebagai Petta Bombo' tetap melekat
dibelakang namanya hingga sekarang.
Pasukan
Petta BOMBO
Tana
Wajo, memasuki awal abad 18 adalah merupakan masa-masa suram yang didalamnya
sarat dengan berbagai kekacauan. Bermula ketika La Mallalengeng Puanna Toappamadeng Arung Matoa Wajo wafat
pada tahun 1817 setelah memerintah selama 22 tahun lamanya. Arung PatappuloE
sebagai Dewan Adat tertinggi Wajo tidak dapat segera menentukan dan menobatkan
Arung Matoa Wajo yang baru. Maka terjadilah kekacauan dalam negeri Tanah Wajo sehingga negeri-negeri tetangga juga turut
memainkan kepentingannya. Termasuk bebrapa kerajaan di negeri Wajo.
Terjadilah
perang antara Wajo dengan Bone. Lasykar Wajo menyerbu ke Pompanua. Namun
lasykar Pompanua dapat bertahan bahkan dapat memukul mundur Pasukan Wajo berkat
bantuan Pasukan Bone. Berkali-kali Pasukan Wajo melakukan penyerbuan namun
tetap juga selalu terpukul mundur. Barikade pertahanan Pasukan Bone terlalu
kuat untuk ditembus. Maka La
Paddengngeng Puanna La Palaguna Arung Matoa Wajo melalui La Rappe' (La Olling) Arung Liu SullE Ranreng
Tuwa Wajo meminta agar Lasykar Belawa ikut memperkuat Pasukan
Wajo untuk merebut Pompanua.
Memenuhi
amanat Arung Matoa Wajo dan Petta EnnengngE, maka Arung Belawa La Makkaraka Petta Ugi meminta
kesediaan La Rumpang Petta
Bombo' untuk memimpin lasykar Belawa pada ekspedisi perebutan
Negeri Pompanua. Petta Bombo menyatakan
kesediaannya, namun disertai "syarat" yang harus disetujui oleh Arung
Belawa beserta para petinggi Tana Wajo (termasuk Arum Matoa), yakni :
La
Rumpang Petta Bombo' sendiri yang memilih personel lasykar Belawa yang diikutkan pada ekspedisi itu
Penyerbuan
ke Pompanua dilakukan sendiri oleh Pasukan Khusus Belawa tanpa disertai oleh
Pasukan Wajo.
Akhirnya
Arung Belawa dan segenap petinggi Wajo menyetujui persyaratan yang aneh
tersebut.
Maka Petta Bombo' melaksanakan seleksi pasukan Belawa yang berjumlah ribuan tersebut. Mereka berbaris satu demi satu berdiri dihadapan Petta Bombo'. Sementara itu Petta Bombo' menerawang setiap prajurit yang berdiri dihadapannya dengan cara meneropongnya melalui celah (lubang) Tombak Pusaka La Patellongi. Dikisahkan, jika seorang lasykar tidak kelihatan kepalanya melalui celah yang terdapat pada tombak pusaka tersebut, maka ia dinyatakan tidak ikut. Petta Bombo' meyakini bahwa orang yang tidak kelihatan kepalanya, niscaya akan gugur di medang perang walaupun orang itu kebal.
Maka Petta Bombo' melaksanakan seleksi pasukan Belawa yang berjumlah ribuan tersebut. Mereka berbaris satu demi satu berdiri dihadapan Petta Bombo'. Sementara itu Petta Bombo' menerawang setiap prajurit yang berdiri dihadapannya dengan cara meneropongnya melalui celah (lubang) Tombak Pusaka La Patellongi. Dikisahkan, jika seorang lasykar tidak kelihatan kepalanya melalui celah yang terdapat pada tombak pusaka tersebut, maka ia dinyatakan tidak ikut. Petta Bombo' meyakini bahwa orang yang tidak kelihatan kepalanya, niscaya akan gugur di medang perang walaupun orang itu kebal.
Seperti yang dipersyaratkan Petta Bombo, pasukan kecil yang dipimpinnya
menyerbu Pompanua tanpa disertai oleh pasukan Wajo. Mereka bertolak dari Belawa
melalui Danau Tempe lalu mendarat di Tempe. Kemudian melanjutkan perjalanan ke
Pammana, dimana mereka membangun sebuah basis pertahanan. Setelah beristirahat
selama beberapa hari, maka penyerbuan itu dimulai. Pihak Pompanua tidak
menyangka jika hari itu Wajo menyerang hanya dengan sebuah pasukan kecil.
Terjadilah pertempuran yang berat sebelah.
Pasukan
Belawa bertempur dengan berani karena berbekal keyakinan jika mereka tidak akan
mati dalam peperangan itu. Pertempuran yang heroik itu dikisahkan dengan bahasa
yang indah dan terillustrasi secara mendetail dalam epos seni tutur "Sure' Warani PituE".
Setelah bertempur selama hampir satu bulan, Petta TowaraniE Arung Pompanua gugur. Maka pihak Pompanua
meminta gencatan senjata dan mengatur sebuah perundingan. Akhirnya perang itu
dinyatakan usai dengan kemenangan berada di pihak Tana Wajo. Sesuai
dengan yang diramalkan Petta Bombo', tidak satupun lasykar Belawa yang gugur
dalam kancah perang Pompanua. Kemenangan itu membawa Pompanua kembali
keharibaan TanaE Wajo.
Setelah perang Pompanua, maka kisah tentang Petta Bombo' yang lebih banyak berdiam di Tana Tengnga. tidak begitu banyak yang bisa dituturkan hingga wafat dengan gelar baginda La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga Petta MatinroE ri Jara' PaodaEnna. Baginda dimakamkan dengan prosesi kebesaran sebagaimana layaknya seorang Raja yang berdarah murni dan dihadiri oleh Raja-raja TellumpoccoE. Batu nisan baginda didatangkan langsung dari Soppeng berupa batu sungai setinggi kurang lebih 2 meter dari permukaan tanah.
Setelah perang Pompanua, maka kisah tentang Petta Bombo' yang lebih banyak berdiam di Tana Tengnga. tidak begitu banyak yang bisa dituturkan hingga wafat dengan gelar baginda La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga Petta MatinroE ri Jara' PaodaEnna. Baginda dimakamkan dengan prosesi kebesaran sebagaimana layaknya seorang Raja yang berdarah murni dan dihadiri oleh Raja-raja TellumpoccoE. Batu nisan baginda didatangkan langsung dari Soppeng berupa batu sungai setinggi kurang lebih 2 meter dari permukaan tanah.
Wafatnya
Petta Bombo' adalah jelang akhir kejayaan Tana Tengnga.
Sumber : I Mattalunru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar