Jumat, 30 Desember 2016

Petta BOMBO'


Pahlawan dari Tana’ Tengnga Belawa



D. Suhardiman Sunusi

Kisah ini merupakan bagian dari sejarah Belawa yang berasal dari tana Tengnga.E. Tentang kehebatan seorang putera Belawa yang  sangat ditakuti ,  Seorang raja  yang kehilangan naluri kemanusiaannya, hingga mendapatkannya kembali ketika ia mendekatkan diri pada Allah SWT


Asal Mula Gelar Petta BOMBO

Pada masa peralihan yang berat di daerah Belawa ,  I BessE Tungka'   melahirkan sepasang Putera Puteri kembar yang masing-masing diberi nama : La Rumpang dan I RawE. kelahiran sepasang kembar emas (dEnru Ulaweng) itu diwarnai dengan hal-hal ajaib. Bersamaan dengan keluarnya sepasang bayi itu dari rahim ibunya, diikuti pula dengan keluarnya dua buah benda yang menyerupai usus yang melengket pada ari-ari.  Ketika dukun istana mengambilnya untuk ditanam bersama ari-ari, ternyata kedua benda tersebut bernafas. Kempas-kempis bagaikan mahluk bernyawa !. Maka dibungkuslah dengan kain putih dan diperlakukan sebagaimana halnya manusia. Lama kelamaan, setelah sepasang kembar emasnya beranjak remaja, kedua benda tersebut kering dan mengeras seperti baja yang menyerupai dua bilah "Tappi" (keris). Namun anehnya, keduanya dapat bergerak sendiri sebagaimana halnya mahluk hidup, maka disebutlah mereka sebagai : ManurungngE ri Tana Tengnga.

Setelah menginjak umur remaja, sepasang kembar emas tersebut masing-masing dinikahkan dengan kerabatnya.  La Rumpang dinikahkan dengan dengan sepupu satu kalinya bernama  We Bunga Waru  dan I RawE dinikahkan dengan  Lato' Biroro, seorang pangeran terkemuka dari Pammana yang merupakan murid Tarekat Khalwatiah yang tekun. Setelah diboyong ke Kampiri (Pammana), Sang Puteri ikut mendalami Tarekat dibawah bimbingan suaminya. Sebagai santriwati, maka beliau menyesuaikan  cara berpakaiannya dengan mengenakan busana Muslimah sehingga digelari  Petta PajjumbaE.

Berselang beberapa waktu kemudian, La Rumpang Daeng Pasolong dinobatkan menjadi Datu Tana Tengnga. Namun, suatu hal yang amat meresahkan adalah temperamentalnya yang berangasan, bahkan cenderung sadis !. Terlebih-lebih  sejak ia didampingi oleh pengikut-pengikutnya yang senang bermuka-muka manis, berusaha menyenangkan junjungannya dengan cara apapun berdasarkan kepentingan dirinya masing-masing.

Hal-hal sepele yang kurang menyenangkan Raja Muda itu dapat dijadikan alasan untuk melakukan pembunuhan. Anehnya, La Rumpang gemar melakukan pembunuhan itu dengan kedua tangannya sendiri.

La Rumpang Daeng Pasolong sangat pamali ketika orang menyebut namanya diluar dengan namanya sendiri . Keganasan La Rumpang semakin menjadi-jadi. Baginda tidak memilih waktu dan tempat, dimana saja kata pemalinya disebut orang, maka orang tersebut harus mati di ujung tombaknya. Pada suatu kesempatan, baginda berkunjung ke Datu Soppeng. Namun kebiasaanya di Belawa tetap diberlakukan di Negeri Besar tersebut. Jatuhlah korban sia-sia pada beberapa rakyat Soppeng. Maka orang-orang Soppeng menggelarinya : Petta Bombo' (Pangeran Hantu) yang melekat dibelakang nama baginda selamanya.

Sementara itu, ayah bunda La Rumpang dengan tidak henti-hentinya menasehati putera yang dikasihinya itu. Namun La Rumpang tidak menggubrisnya walaupun tidak dibantahnya juga. Halnya dengan We RawE Petta PajjumbaE, mengetahui tabiat saudara kembarnya yang amat disayangnya itu, maka beliau ke Belawa untuk mengingatkan kakaknya. Tidak lama setibanya sang putri di Belawa, beliau sakit dan wafat di Tanah kelahirannya tersebut. Dapat diperkirakan, bahwa penyakit sang puteri disebabkan oleh tekanan batin melihat tingkah laku saudara kembarnya yang bagaikan kesurupan itu.

Sukar dibayangkan betapa terpukulnya La Rumpang melihat saudara kembarnya menghembuskan nafas terakhir dihadapannya. Nafsu angkara murka yang selama ini mengeram di jiwanya musnah seketika, diamuk kesedihan yang mendalam. Sang Pangeran Bengis yang biasanya ceria itu kini mengurung diri di biliknya selama berhari-hari. Akhirnya, tibalah masanya Hidayah Allah tercurah pada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menyadari kekhilafannya dengan bertaubat dan berserah diri sepenuhnya. Akhirnya La Rumpang Petta Bombo' kini insyaf, berubah menjadi Pangeran yang arif lagi bijaksana, namun gelarnya sebagai Petta Bombo' tetap melekat dibelakang namanya hingga sekarang. 

Pasukan Petta BOMBO

Tana Wajo, memasuki awal abad 18 adalah merupakan masa-masa suram yang didalamnya sarat dengan berbagai kekacauan. Bermula ketika La Mallalengeng Puanna Toappamadeng Arung Matoa Wajo wafat pada tahun 1817 setelah memerintah selama 22 tahun lamanya. Arung PatappuloE sebagai Dewan Adat tertinggi Wajo tidak dapat segera menentukan dan menobatkan Arung Matoa Wajo yang baru. Maka terjadilah kekacauan dalam negeri Tanah Wajo  sehingga negeri-negeri tetangga juga turut memainkan kepentingannya. Termasuk bebrapa kerajaan di negeri Wajo.

Terjadilah perang antara Wajo dengan Bone. Lasykar Wajo menyerbu ke Pompanua. Namun lasykar Pompanua dapat bertahan bahkan dapat memukul mundur Pasukan Wajo berkat bantuan Pasukan Bone. Berkali-kali Pasukan Wajo melakukan penyerbuan namun tetap juga selalu terpukul mundur. Barikade pertahanan Pasukan Bone terlalu kuat untuk ditembus. Maka La Paddengngeng Puanna La Palaguna Arung Matoa Wajo melalui  La Rappe' (La Olling) Arung Liu SullE Ranreng Tuwa Wajo meminta agar Lasykar Belawa ikut memperkuat Pasukan Wajo untuk merebut Pompanua. 

Memenuhi amanat Arung Matoa Wajo dan Petta EnnengngE, maka Arung Belawa La Makkaraka Petta Ugi meminta kesediaan La Rumpang Petta Bombo' untuk memimpin lasykar Belawa pada ekspedisi perebutan Negeri Pompanua.  Petta Bombo menyatakan kesediaannya, namun disertai "syarat" yang harus disetujui oleh Arung Belawa beserta para petinggi Tana Wajo (termasuk Arum Matoa), yakni :

      La Rumpang Petta Bombo' sendiri yang memilih personel lasykar Belawa yang diikutkan pada ekspedisi itu
       
        Penyerbuan ke Pompanua dilakukan sendiri oleh Pasukan Khusus Belawa tanpa disertai oleh Pasukan Wajo.

Akhirnya Arung Belawa dan segenap petinggi Wajo menyetujui persyaratan yang aneh tersebut.

Maka Petta Bombo' melaksanakan seleksi pasukan Belawa yang berjumlah ribuan tersebut. Mereka berbaris satu demi satu berdiri dihadapan Petta Bombo'. Sementara itu Petta Bombo' menerawang setiap prajurit yang berdiri dihadapannya dengan cara meneropongnya melalui celah (lubang) Tombak Pusaka La Patellongi. Dikisahkan, jika seorang lasykar tidak kelihatan kepalanya melalui celah yang terdapat pada tombak pusaka tersebut, maka ia dinyatakan tidak ikut. Petta Bombo' meyakini bahwa orang yang tidak kelihatan kepalanya, niscaya akan gugur di medang perang walaupun orang itu kebal. 

Seperti yang dipersyaratkan Petta Bombo, pasukan kecil yang dipimpinnya menyerbu Pompanua tanpa disertai oleh pasukan Wajo. Mereka bertolak dari Belawa melalui Danau Tempe lalu mendarat di Tempe. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Pammana, dimana mereka membangun sebuah basis pertahanan. Setelah beristirahat selama beberapa hari, maka penyerbuan itu dimulai. Pihak Pompanua tidak menyangka jika hari itu Wajo menyerang hanya dengan sebuah pasukan kecil. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah.

Pasukan Belawa bertempur dengan berani karena berbekal keyakinan jika mereka tidak akan mati dalam peperangan itu. Pertempuran yang heroik itu dikisahkan dengan bahasa yang indah dan terillustrasi secara mendetail dalam epos seni tutur "Sure' Warani PituE". Setelah bertempur selama hampir satu bulan, Petta TowaraniE Arung Pompanua gugur. Maka pihak Pompanua meminta gencatan senjata dan mengatur sebuah perundingan. Akhirnya perang itu dinyatakan usai dengan kemenangan berada di pihak Tana Wajo.  Sesuai dengan yang diramalkan Petta Bombo', tidak satupun lasykar Belawa yang gugur dalam kancah perang Pompanua. Kemenangan itu membawa Pompanua kembali keharibaan TanaE Wajo.

Setelah perang Pompanua, maka kisah tentang Petta Bombo' yang lebih banyak berdiam di Tana Tengnga. tidak begitu banyak yang bisa dituturkan hingga wafat dengan  gelar baginda  La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga Petta MatinroE ri Jara' PaodaEnna. Baginda dimakamkan dengan prosesi kebesaran sebagaimana layaknya seorang Raja yang berdarah murni dan dihadiri oleh Raja-raja TellumpoccoE. Batu nisan baginda didatangkan langsung dari Soppeng berupa batu sungai setinggi kurang lebih 2 meter dari permukaan tanah.

Wafatnya Petta Bombo' adalah jelang akhir kejayaan Tana Tengnga.

Sumber : I Mattalunru


Tidak ada komentar: