Jumat, 30 Desember 2016

TRAGEDI LAPPAPERING

Kisah Awal Mula Bergabungnya kerajaan Paria, Rumpia, Macanang dan Attata dalam Kerajaan Wajo



D. Suhardiman Sunusi

Pada saman Arung Matoa La Tenri Umpu To Langi jadi Arung Matoa III,  di Perbatasan Kerajaan Macanang dan Kerajaan Paria ada sebuah daerah yang banyak ditumbui tanaman Lawareng , semacam tumbuhan bamboo yang berduri tapi pohonnya sangat besar , tumbuhan ini di sebut LAPPAPERING,  tanaman ini sangat berkembang di daerah tersebut. Masing masing kedua kerajaan saling mengklaiam wilayah tersebut. Berbagai upaya dilakukan kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah ini , tapi tak kunjung berhasil. bibit perpecahanpun muncul  diantara kedua kerajaan itu , kondisi tersebut semakin memanas diakibatkan seringnya terjadi perseteruan kecil antara masyarakat dua kerajaan yang bermukim di daerah tersebut hanya gara gara memperebutkan pohon yang ada di wilayah tersebut itu.


Kondisi ini memaksa Arung Paria  yang bergelar To Tenrijarangeng ( gelarnya mengikuti nama anaknya yang bernama Tenrijarangeng )  untuk mencari dukungan dari kerajaan sekutunya termasuk Rumpia yang dipimpin  oleh To Embong. Merasa kekuatan belum cukup untuk memulai Perang To Tenrijarangeng membawa dua Gelang emas sebagai sebuah persembahan di depan La Tenri Umpu To Langi Arung Matoa Wajo III sebagai bagian dari persekutuan Paria terhadap Kerajaan Wajo. dengan syarat Wajo harus  menyerang Kerajaan Macanang yang pada waktu itu bersekutu Attata

Hubungan ini pun di sambut baik oleh Arung Matoa to langi, apalagi Wajo pada waktu itu dalam masa penataan pemerintahannya  yang memerlukan wilayah dan dukungan daerah yang ada di sekelilingngya, perangpun tak dapat terhindarkan

Kerajaan Wajo di bawah panglima perang kerajaan La Taddampare Puangrimaggalatung menyerang Macanang, korban pun berjatuhan dikedua belah pihak. Tingginya nilai patriotisme diantara kedua belah pihak terlihat nyata dalam pertempuran ini.  Mereka bertempur dengan gagah berani. Setelah bertempur selama tiga hari, Kerajaan Macanang dan Attata pun akhirnya takluk dari pasukan Wajo.  kekalahan dipihak macanang  itulah yang memulai babak baru bergabungnya macanang dalam wilayah kerajaan Wajo

Ketika La Tenri Umpu To Langi Arung Matoa Wajo III meninggal Dunia, maka dipilih dan diangkatlah La Taddampare Puangrimaggalatung sebagai Arung Mato Wajo IV.

Pada masa itu balairung yang ada di depan rumah Arung Matoa di tata ulang, termasuk ruang berperkara, ada kebiasaan di Wajo terutama bagi masyarakat yang akan mengajukan perkara di depan Arung Matoa harus mengucapkan sumpah Suci . Tiang yang sudah lapuk akan diganti dengan tiang baru, maka diperintahkanlah untuk mengambil Pohon Lappapering di Macanang , untuk mengganti Tiang yang sudah lapuk di ruang tersebut. Hal ini membuat To Tenrijarangeng arung Paria menjadi marah karena menganggap Wajo telah melanggar kesepakatan kedua kerajaan ,

Arung Paria To Tenrijarangeng menemui Arung Matoa untuk melakukan protes terhadap Wajo karena telah menebang pohon Lappapering di Macanang yang merupakan Wilayah Kerajaan Paria,  menurut Paria, dengan menebangnya pohon di Macanang berarti Macanang dan Attata bukan lagi menjadi milik Paria Tetapi Milik Wajo

Berkata Arung Paria  To Tenrijarangeng

 "Apa sebabnya Wajo' yang mengambil Macanang dan Attata,sedangkan Wajo hanya aku panggil membantu aku?

 Arung Matoa Wajo La Tadampare menjawab

“ Bagaimana mungkin macanang dan Attata tidak  diambil oleh Wajo sebagai bagian dari wilayahnya, sedangkan Wajo sendiri yang menaklukan daerah tersebut ."

Kesepakatan pun mengalami kebuntuan, sehingga kedua kerajaan memaklumkan  perang antara Wajo dan Paria

Arung Matoa Wajo mempersiapkan perang dengan Paria, masing masing limpo datang bersama pasukannya dengan bendera kebesaran mereka .  pasukan  dari Kerajaan Bola Turut bergabung dengan Pasukan Wajo, Pasukan Bola dipimpin langsung Datu Bola La Sune’ Raja Mawellang Balailoe bersama to Camau  , sedangkan Pasukan paria terdiri dari Pasukan gabungan dari Rumpia yang dipimpin langsung oleh To Embong.

Pasukan Wajo bergerak menuju Paria disambut oleh Pasukan gabungan  Paria yang dipimpin langsung oleh To Tenrijarangeng dan to Embong, perangpun berkobar , korbanpun berjatuhan, tanah yang dipijak penuh dengan tetesan darah para kesatria dari kedua kerajaan. Gemerincing suara kalewang yang beradu memekakkan telinga. Kembali To Camau’ meperlihatkankan ketangguhannya dalam berperang, dia menari nari di medan laga pertempuran. sedangkan dari ibukota kerajaan Paria terdengar bunyi gendang terus dipukul bertalu talu mengiringi semangat juang  pasukan Paria. Dan pada akhirnya Pasukan Wajo terdesak mundur, banyak yang meninggalkan posisinya, konsentrasi barisan jadi kacau balau , pasukan paria terus mengempur dengan gagah berani.

Pada saat yang kritis To Allawa pemegang Panji Talotenreng menerobos maju kedepan dengan mengibarkan bendera kebesaran yang beraneka warna milik Talotenreng  . To Allawa berhadapan langsung dengan To Tenrijarangeng. duel pun berlangsung dengan seru, saling menebaskan kelewang diantara mereka. To Tenrijarangengpun tersungkur akibat tebasan kelewang dari To Allawa.

Gugurnya Arung Paria sebagai kesatria pada duel maut tersebut, mengembalikan semangat para prajurit Wajo, pasukan yang sempat kocar kacir akhirnya terkonsentrasi kembali, semangat juang kembali menyatu, kondisi tersebut sangat jauh berbeda dengan Pasukan Paria. Gugurnya To Tenrijarangeng panglima perang mereka membuat pasukan menjadi kehilangan semangat. Menyaksikan perang yang sudah tidak seimbang , pasukan Paria mundur akhirnya takluk dalam pertempuran itu. Bersama to embong La Tenrijarangeng yang merupakan putra mahkota Kerajaan Paria  menyatakan diri bergabung dengan Wajo,

Keberadaan Pohon Lappapering telah meninggalkan banyak kisah, dan tak terhitung jumlah korban yang berguguran hanya untuk mempertahankan wilayah tersebut.


MATOA
Sumber : Lontara Sukku'na Wajo ( LSW )

Tidak ada komentar: