Kisah Awal Mula Bergabungnya kerajaan Paria, Rumpia, Macanang dan Attata dalam Kerajaan Wajo
D. Suhardiman Sunusi
Pada
saman Arung Matoa La Tenri Umpu To Langi jadi Arung Matoa III, di Perbatasan Kerajaan Macanang dan Kerajaan
Paria ada sebuah daerah yang banyak ditumbui tanaman Lawareng , semacam
tumbuhan bamboo yang berduri tapi pohonnya sangat besar , tumbuhan ini di sebut
LAPPAPERING, tanaman ini sangat
berkembang di daerah tersebut. Masing masing kedua kerajaan saling mengklaiam
wilayah tersebut. Berbagai upaya dilakukan kedua belah pihak untuk
menyelesaikan masalah ini , tapi tak kunjung berhasil. bibit perpecahanpun
muncul diantara kedua kerajaan itu ,
kondisi tersebut semakin memanas diakibatkan seringnya terjadi perseteruan
kecil antara masyarakat dua kerajaan yang bermukim di daerah tersebut hanya
gara gara memperebutkan pohon yang ada di wilayah tersebut itu.
Kondisi
ini memaksa Arung Paria yang bergelar To
Tenrijarangeng ( gelarnya mengikuti nama anaknya yang bernama Tenrijarangeng ) untuk mencari dukungan dari kerajaan sekutunya
termasuk Rumpia yang dipimpin oleh To
Embong. Merasa kekuatan belum cukup untuk memulai Perang To Tenrijarangeng
membawa dua Gelang emas sebagai sebuah persembahan di depan La Tenri Umpu To Langi
Arung Matoa Wajo III sebagai bagian dari persekutuan Paria terhadap Kerajaan
Wajo. dengan syarat Wajo harus menyerang
Kerajaan Macanang yang pada waktu itu bersekutu Attata
Hubungan
ini pun di sambut baik oleh Arung Matoa to langi, apalagi Wajo pada waktu itu
dalam masa penataan pemerintahannya yang
memerlukan wilayah dan dukungan daerah yang ada di sekelilingngya, perangpun
tak dapat terhindarkan
Kerajaan
Wajo di bawah panglima perang kerajaan La Taddampare Puangrimaggalatung menyerang
Macanang, korban pun berjatuhan dikedua belah pihak. Tingginya nilai
patriotisme diantara kedua belah pihak terlihat nyata dalam pertempuran
ini. Mereka bertempur dengan gagah
berani. Setelah bertempur selama tiga hari, Kerajaan Macanang dan Attata pun
akhirnya takluk dari pasukan Wajo.
kekalahan dipihak macanang itulah
yang memulai babak baru bergabungnya macanang dalam wilayah kerajaan Wajo
Ketika
La Tenri Umpu To Langi Arung Matoa Wajo III meninggal Dunia, maka dipilih dan
diangkatlah La Taddampare Puangrimaggalatung sebagai Arung Mato Wajo IV.
Pada
masa itu balairung yang ada di depan rumah Arung Matoa di tata ulang, termasuk
ruang berperkara, ada kebiasaan di Wajo terutama bagi masyarakat yang akan
mengajukan perkara di depan Arung Matoa harus mengucapkan sumpah Suci . Tiang
yang sudah lapuk akan diganti dengan tiang baru, maka diperintahkanlah untuk
mengambil Pohon Lappapering di Macanang , untuk mengganti Tiang yang sudah
lapuk di ruang tersebut. Hal ini membuat To Tenrijarangeng arung Paria menjadi
marah karena menganggap Wajo telah melanggar kesepakatan kedua kerajaan ,
Arung
Paria To Tenrijarangeng menemui Arung Matoa untuk melakukan protes
terhadap Wajo karena telah menebang pohon Lappapering di Macanang yang
merupakan Wilayah Kerajaan Paria,
menurut Paria, dengan menebangnya pohon di Macanang berarti Macanang dan
Attata bukan lagi menjadi milik Paria Tetapi Milik Wajo
Berkata
Arung Paria To Tenrijarangeng
"Apa sebabnya Wajo' yang mengambil
Macanang dan Attata,sedangkan Wajo hanya aku panggil membantu aku?
Arung Matoa Wajo La Tadampare menjawab
“
Bagaimana mungkin macanang dan Attata tidak
diambil oleh Wajo sebagai bagian dari wilayahnya, sedangkan Wajo sendiri
yang menaklukan daerah tersebut ."
Kesepakatan
pun mengalami kebuntuan, sehingga kedua kerajaan memaklumkan perang antara Wajo dan Paria
Arung Matoa Wajo mempersiapkan perang
dengan Paria, masing masing limpo datang bersama pasukannya dengan bendera
kebesaran mereka . pasukan dari Kerajaan Bola Turut bergabung dengan
Pasukan Wajo, Pasukan Bola dipimpin langsung Datu Bola La Sune’ Raja Mawellang
Balailoe bersama to Camau , sedangkan
Pasukan paria terdiri dari Pasukan gabungan dari Rumpia yang dipimpin langsung
oleh To Embong.
Pasukan Wajo bergerak menuju Paria disambut
oleh Pasukan gabungan Paria yang
dipimpin langsung oleh To Tenrijarangeng dan to Embong, perangpun berkobar ,
korbanpun berjatuhan, tanah yang dipijak penuh dengan tetesan darah para
kesatria dari kedua kerajaan. Gemerincing suara kalewang yang beradu memekakkan
telinga. Kembali To Camau’ meperlihatkankan ketangguhannya dalam berperang, dia
menari nari di medan laga pertempuran. sedangkan dari ibukota kerajaan Paria
terdengar bunyi gendang terus dipukul bertalu talu mengiringi semangat juang pasukan Paria. Dan pada akhirnya Pasukan Wajo
terdesak mundur, banyak yang meninggalkan posisinya, konsentrasi barisan jadi
kacau balau , pasukan paria terus mengempur dengan gagah berani.
Pada saat yang kritis To Allawa pemegang
Panji Talotenreng menerobos maju kedepan dengan mengibarkan bendera kebesaran yang
beraneka warna milik Talotenreng . To
Allawa berhadapan langsung dengan To Tenrijarangeng. duel pun berlangsung
dengan seru, saling menebaskan kelewang diantara mereka. To Tenrijarangengpun
tersungkur akibat tebasan kelewang dari To Allawa.
Gugurnya
Arung Paria sebagai kesatria pada duel maut tersebut, mengembalikan semangat
para prajurit Wajo, pasukan yang sempat kocar kacir akhirnya terkonsentrasi
kembali, semangat juang kembali menyatu, kondisi tersebut sangat jauh berbeda
dengan Pasukan Paria. Gugurnya To Tenrijarangeng panglima perang mereka membuat
pasukan menjadi kehilangan semangat. Menyaksikan perang yang sudah tidak
seimbang , pasukan Paria mundur akhirnya takluk dalam pertempuran itu. Bersama
to embong La Tenrijarangeng yang merupakan putra mahkota Kerajaan Paria menyatakan diri bergabung dengan Wajo,
Keberadaan
Pohon Lappapering telah meninggalkan banyak kisah, dan tak terhitung jumlah
korban yang berguguran hanya untuk mempertahankan wilayah tersebut.
MATOA
Sumber : Lontara Sukku'na Wajo ( LSW )
Sumber : Lontara Sukku'na Wajo ( LSW )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar