TEDDUNG LOMPO NENNIA LELLU'
Menurut khazanah “Ade’ Maraja” (Adat Istiadat
Istana) yang berlaku secara umum pada hampir seluruh Kerajaan di Sulawesi
Selatan dan Barat, fungsi “teddung lompo” dan “lellu’” dapat dibedakan menurut
prinsifnya, yaitu Teddung Lompo dipergunakan oleh Raja/Ratu untuk bepergian dan
Lellu’ dipergunakan untuk menyambut Raja/Ratu yang datang dari bepergian.
Lellu’ yang digunakan untuk menyambut tamu agung
memiliki 3 kategori, yakni Lellu’ 8 tangkai bagi para Balibocco (Raja/Ratu yang
setara), Lellu’ 6 tangkai bagi Arung Palili (Raja/Ratu bawahan) dan Lellu’ 4
tangkai bagi Anakarung dan TomarajaE (bangsawan dan pemerintah).
Namun terkadang Lellu’ dipakai keluar dari
kompleks istana (Lalengbata) oleh Raja/Ratu, itu hanya untuk menaungi Raja/Ratu
yang telah wafat menuju ke Mesjid untuk disembahyangkan kemudian dinaikkan ke
UlE Bare’ (usungan besar berangka susun) menuju ke tempat persemayaman terakhirnya.
Pemegang tangkai lellu’ yang disebut sebagai
“pakkatenni lellu’” dipilih dari kalangan “Anakarung Ribolang” (anak bangsawan
penghuni Istana).
Jika junjungan yang hendak dinaungi Lellu’
adalah seorang laki-laki, maka mereka juga berjenis kelamin laki-laki.
Mereka mengenakan seragam Awi (kain putih)
ataupun Sulara’ Gance’ (celana sebatas lutut) dengan dilapis tapong (kain
sutera tipis berbentuk rok), Sima’ Tayya’ (gelang lengan) serta penutup kepala
Songko’ Ceppa (kopiah berhias) berwarna putih.
Terkecuali jika dalam suasana berduka untuk
mengantar jazad Raja/Ratu menuju ke “ulE bare’”, para pakkatenni lellu’ itu
mengenakan Songko’ Ceppa (semacam kopiah) berwarna dasar hitam.
Pakkatenni Lellu’ pada peristiwa ini senantiasa
adalah anak lelaki, meskipun junjungan yang wafat tersebut adalah perempuan.
Demikian pula jika seorang junjungan adalah
perempuan, maka para Pakkatenni Lellu’ mutlak adalah perempuan pula yang
mengenakan busana serba putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar