Selasa, 11 April 2017

ADE' MARAJA

TEDDUNG LOMPO NENNIA LELLU'


Menurut khazanah “Ade’ Maraja” (Adat Istiadat Istana) yang berlaku secara umum pada hampir seluruh Kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat, fungsi “teddung lompo” dan “lellu’” dapat dibedakan menurut prinsifnya, yaitu Teddung Lompo dipergunakan oleh Raja/Ratu untuk bepergian dan Lellu’ dipergunakan untuk menyambut Raja/Ratu yang datang dari bepergian.





Lellu’ yang digunakan untuk menyambut tamu agung memiliki 3 kategori, yakni Lellu’ 8 tangkai bagi para Balibocco (Raja/Ratu yang setara), Lellu’ 6 tangkai bagi Arung Palili (Raja/Ratu bawahan) dan Lellu’ 4 tangkai bagi Anakarung dan TomarajaE (bangsawan dan pemerintah).

Namun terkadang Lellu’ dipakai keluar dari kompleks istana (Lalengbata) oleh Raja/Ratu, itu hanya untuk menaungi Raja/Ratu yang telah wafat menuju ke Mesjid untuk disembahyangkan kemudian dinaikkan ke UlE Bare’ (usungan besar berangka susun) menuju ke tempat persemayaman terakhirnya.


Pemegang tangkai lellu’ yang disebut sebagai “pakkatenni lellu’” dipilih dari kalangan “Anakarung Ribolang” (anak bangsawan penghuni Istana).

Jika junjungan yang hendak dinaungi Lellu’ adalah seorang laki-laki, maka mereka juga berjenis kelamin laki-laki.

Mereka mengenakan seragam Awi (kain putih) ataupun Sulara’ Gance’ (celana sebatas lutut) dengan dilapis tapong (kain sutera tipis berbentuk rok), Sima’ Tayya’ (gelang lengan) serta penutup kepala Songko’ Ceppa (kopiah berhias) berwarna putih.

Terkecuali jika dalam suasana berduka untuk mengantar jazad Raja/Ratu menuju ke “ulE bare’”, para pakkatenni lellu’ itu mengenakan Songko’ Ceppa (semacam kopiah) berwarna dasar hitam.

Pakkatenni Lellu’ pada peristiwa ini senantiasa adalah anak lelaki, meskipun junjungan yang wafat tersebut adalah perempuan.

Demikian pula jika seorang junjungan adalah perempuan, maka para Pakkatenni Lellu’ mutlak adalah perempuan pula yang mengenakan busana serba putih.


Tidak ada komentar: