Onna Bugeisha
“Ia sangat cantik, berkulit putih, rambut
panjang, dan berpenampilan menarik. Dia juga seorang pemanah yang hebat, dan
sebagai seorang ahli pedang ia bernilai seribu pejuang. Ia siap menghadapi
setan atau dewa, menunggang kuda atau berjalan kaki. Keterampilan yang luar
biasa… berbahaya.”
Sebagian besar kisah Samurai dari budaya
Jepang dikenal masyarakat dunia bukan lewat buku-buku sejarah. Kita justru
kerap mendapati mereka dari novel,manga (komik Jepang), anime (animasi
Jepang) dan film.
Para Samurai itu sering menjadi latar cerita
jika mengisahkan saat jepang masih menjadi wilayah-wilayah para Shogun.Umumnya
kita akan disuguhi dengan budaya dan etik laki-laki berpedang yang maskulin dan
berpendirian.
Perempuan biasanya di tampilkan sebagai “Heroine” ,
ia pemanis dan pemanas di belakang layar utama. Bahkan Akira Kurosawa dalam “The
Seven Samurai ” atau Eiji Yoshikawa dalam beberapa tulisan
Samurai-nya, tidaklah banyak menonjolkan perempuan yang menenteng katana.
Onna Bugeisha
Namun, ternyata “Samurai wanita” tersebut
ada.” Mereka dikenal sebagai Onna Bugeisha, yang bisa
ditelusuri peranannya hingga pada masa kekuasaan Permaisuri Jingū–pada 200
Masehi memimpin invasi Korea–yang menggantikan suaminya, Kaisar Chūai (kaisar
Jepang keempat belas, tewas dalam pertempuran).
Legenda mengatakan bahwa Permaisuri Jingū mencapai
kemenangan yang mengesankan. Dia lantas menggunakan posisinya untuk membawa
perubahan ekonomi dan sosial bagi wilayahnya. Pada tahun 1881, Permaisuri Jingū
bahkan menjadi wanita pertama yang ditampilkan dalam mata uang Jepang.
Japan 10 Yen Empress Jingu 1881
Berbeda dengan Samurai laki-laki yang menjadi
Samurai karena dinilai sebagai “jalan hidup” (hidup dengan jalan pedang), Onna
Bugeisha belajar menggunakan senjata umumnya karena didesak kebutuhan
untuk melindungi desa yang “kekurangan” pejuang laki-laki.
Daripada membayar tentara bayaran untuk
membela mereka, sebagai warga justru melatih anak gadisnya agar mahir dalam
pertempuran yang kelak berguna jika harus melindungi Desa dan keluarga.
Onna Bugeisha dikisahkan
jarang menggunakan pedang katana seperti rekan-rekan pria mereka. Samurai
perempuan ini lebih memilih naginata–mirip polearmdengan pisau
melengkung di ujungnya–senjata yang dinilai efektif untuk berhadapan dengan
lawan yang lebih besar dan lebih berat, atau pedang yang lebih pendek dari
katana; Wakizashi.
Selain itu, Onna Bugeishas
juga mempelajari dan bahkan cukup mahir mengunakan senjata seperti busur dan
anak panah, kaiken, dan seni tanto Jutso. Etika SamuraiOnna Bugeisha konon
juga tanpa kompromi–sama dengan Samurai kebanyakan.
Meskipun akar sejarahnya terkadang ditarik ke
waktu yang sangat jauh, Tokoh-tokoh Onna Bugeisha terkemuka justru lebih banyak
berasal dari abad ke-12 ke-13, bahkan salah satu tokoh Onna Bugeisha yang
tersohor, Nakano Takeko malah malang melintang pada abad ke-19.
Tomoe Gozen yang hidup pada akhir abad ke-12,
mencatatkan namanya karena turut berjuang dalam Pertempuran Awazu. Tomoe yang
berdarah dingin itu memenggal Honda no Moroshige-Musashi dalam pertempuran.
Lebih garang dari itu, Tomoe Gozen bahkan
dilegendakan telah membunuh Uchida Ieyoshi dari clan Kiso Minamoto, hingga
Hatakeyama Shigetada pun harus kewalahan dibuatnya di satu pertempuran yang
sama.
Tomoe Gozen berhadapan dengan Uchida Ieyoshi dan Hatakeyama no
Shigetada “Battle of Awazu” | llustration by Yōshū Chikanobu (1899)
Nakano Takeko yang hidup pada abad ke-19
adalah pemimpin pasukan pemberontakan terhadap Tentara Kekaisaran Jepang dari
Ogaki Domain–di tengah-Selatan Jepang. Naasnya Takeko harus menemui ajalnya
dalam pertempuran karena luka tembak.
Kisah selanjutnya “lebih dari heroik”. Takeko
sebelum menghembuskan nafas terakhir, meminta rekannya agar memenggal kepalanya–karena
tidak rela jika kelak musuh yang mengambilnya sebagai “piala”. Bagian tubuhnya
itu kemudian dimakamkan di bawah pohon pinus di Hōkai Temple.
Tomoe Gozen, Nakano Takeko, dan ada juga sosok
Hojo Masako adalah tokoh-tokoh masyhur Onna Bugeisha. Meskipun
narasi tentang mereka mungkin lebih banyak dikisahkan sebagai lore daripada
sejarah, keberadaan Onna Bugeishasetidaknya mampu menghantar imaji
kita tentang keberadaan perempuan di medan juang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar