Kamis, 13 April 2017

I MANGKAWANI

Cerita rakyat bugis tentang asal mula

Asogireng ri Wajo
Awaraningeng ri Bone
Amaccangeng ri Soppeng



Dahulu kala ada seorang anak raja yang sedang memerintah, namanya La Padoma, seseorang anak tunggal, anak remaja yang gagah perkasa. Ia dijodohkan dengan I Mangkawani, seorang gadis yang sangat elok parasnya, tiada taranya di bawah kolong langit ini.


Pada waktu La Padoma sudah dijodohkan itu, dibawahlah sirih pinang dan barang-barang lainnya yang sudah disepakati bersama di hadapan para pembesar dan disaksikan oleh Dewata.

Tujuh hari sesudah perjodohan mereka itu, tibalah undangan dari Datu Pattuku, sepupu La Padoma, untuk pergi menyabung. La Padoma meminta izin kepada ibunya. Ia diizinkan tetapi ibunya memperingati supaya ia berhati-hati karena orang sedang bertunangan biasanya berada dalam keadaan rawan.

Berangkatlah La Padoma pergi ke hulu.

Setelah sampai dan bermalam semalam, barulah gelanggang penyabungan dimulai. Disabunglah ayam La Padoma melawan ayam Datu Pattuku.

Pada saat ayam sedang berlaga, saudara perempuan Datu Patukku menjenguk di jendela. Ketika La Padoma bangkit, berjumpa pandanglah keduanya. Akhirnya La Padoma tidak menghiraukan ayamnya lagi melainkan perempuan itulah yang diperhatikannya terus. Melihat hal yang demikian, maka kata Datu Patukku             berkata :

.”jika adik ada hasrat beristri, kembalilah dahulu lalu mengirim duta. Kalau orang Kahu menolak, nanti kitalah yang mengikat janji.”

Hal itu tidak dihiraukan La Padoma, maka kalahlah ayamnya.

Setelah penyabungan usai, La Padoma memohon kepada sepupunya agar ia diperkenankan menginap di istana. Permintaanya itu dikabulkan.

Pada waktu larut malam,timbullah niat jahatnya. Ia masuk ke bilik saudara perempuan Datu Pattuku. Hal ini terlihat oleh Datu karena La Padoma mempunyai panau yang seperti bersinar di dalam gelap. Ditegurlah ia dan diingatkan apa yang sudah disampaikan kepadanya di dalam gelanggang siang tadi. Tetapi La Padoma tidak menghiraukan . maka ditunggulah ia di depan bilik itu. Ketika ia hendak keluar pada waktu dini hari, ditikamlah ia dengan keris pusaka kerajaan Kahu. Ia pun balik menikam, tetapi tidak mengena, yang kena ialah genderang kerajaan Kahu, yang lalu mendengung tanpa dipukul selama tiga tahun. Sesudah itu La Padoma pun rebah dan menghembuskan napasnya yang terakhir.

Datu Pattuku lalu mengirim utusan untuk menyampaikan kepada masyarakat Bone tentang kematian La Padoma.. Setelah perutusan itu sampai di hadapan raja Bone, berdatang sembahlah ia, katanya,

" Mohon dimpun Tuanku, La Padoma tiada ada, mati ditikam oleh Datu Mattuku, "

Raja Bone tidak percaya, katanya,
“ Apa gerangan yang dijadikan ia sampai mati demikian. Sebab Datu Pattuku itu dapat dikatakan anak saya.”

Setelah jenazah sampai di depan istana, barulah ia percaya.

Melihat kejadian itu raja Bone berkata, siapakah diantara sanak keluargaku yang akan membalaskan kematian La Padoma itu.” Mendengar berita itu Datu Soppeng yang merupakan sepupu La Padoma dari pihak lain menyatakan kesediaannya.

Ia pun berangkat ke Kahu. Kebetulan sekali pada waktu dia tiba didepan istana, Datu Pattuku turun dari tangga. Datu Soppeng langsung menombaknya. Tepat mengenai dada lalu rubuhlah Datu Pattuku ke tanah. Pulanglah Datu Soppeng ke Bone menyampaikan berita itu kepada Mangkauk. Raja Bone menyuruh kabarkan tentang kematian La Padoma kepada tunangannya, I Mangkawani.

Setelah sampai perutusan itu dan menyampaikan apa yang disuruhkan kepadanya, la Mangkawanipun bersama keluarganya diliputi oleh perasaan sedih, mengingat pertunangan mereka baru saja seminggu. Harta bendanya ada yang dibuang atau diberikan kepada orang lain karena terlalu sedih dan malu menjadi janda sebelum kawin.

Dalam itu seorang di antara keluarga I Mangkawani yang menyarankan agar ia pergi saja berlayar ke negeri lain untuk membuang malu dan duka. Dibuatkanlah perahu dan dipersiapkan barang-barangnya yang masih tersisa, lalu berlayarlah  I Mangkawani.

Sewaktu sampai dipelabuhan Bone, di dapatinya rakyat Bone sedang berkumpul. Bermohonlah mereka kepada I Mangkawani, seraya berkata,

” karena engkau hendak membuang segala yang ada padamu, maka kami memohon kiranya kami diberi keberanian.”

Sesudah itu I Mangkawani berlayar lagi. Sampailah ia di pelabuhan Wajo. Di dapatnya disana orang Wajo sedang berkumpul. Karena mengetahui maksud I Mangkawani hendak membuang segala hartanya, maka mereka pun meminta kekayaan.

Kemudian berlayar lagi, sampailah ia di Soppeng. Diddapatnya disana orang Soppeng meminta kepintaran kepada I Mangkawani.

Itulah sebabnya kata orang dulu, orang Bone itu berani, orang Wajo kaya, dan sebagian orang Soppeng pintar.

Disadur dari tulisan HMJ sastra Universitas Hasanuddin

Illustrasi Matoa


Tidak ada komentar: