Kesetaraan gender nyatanya telah ada di
Nusantara sebelum abad ke-15, jauh sebelum para Feminisme Eropa menyuarakannya
pada abad ke-17. Artikel ini tidak sedang berbicara soal “dapur, sumur, kasur”.
Karena ada banyak hal yang jauh lebih menarik.
Dunia keprajuritan selalu diidentikkan dengan
dunia lelaki. Imaji kita tentang mereka yang mengangkat senjata, menembakkan
salvo, memantikkan api pada meriam, menggelindingkan tubuh di bawah kawat
berduri adalah imaji maskulin. Namun, bila kita mau menengok ke dalam
catatan-catatan masa lalu maka anggapan itu akan tergantikan oleh kenyataan
yang selama ini tidak kita ketahui.
Bahwa wanita Nusantara menjadi prajurit yang
maju ke medan pertempuran atau sekadar mengawal raja akan membuat kita
mempertanyakan kembali: bagaimana kedudukan sosial wanita Indonesia
sesungguhnya zaman dahulu di tengah masyarakat yang patriarki?
Harus diakui, hampir tak ada catatan
sejarah—bahkan setingkat mitologi—yang mengisahkan sedikit saja mengenai
keberadaan prajurit wanita di Indonesia di masa-masa kuno.
Kecuali bila kita menganggap Srikandi, istri
Arjuna, yang ikut bertempur melawan Resi Bhisma dalam Bharatayudha, adalah
salah satunya. Catatan paling tua yang kita miliki mengenai keberadaan prajurit
perempuan berasal dari abad ke-17.
Catatan-catatan tersebut ditulis oleh orang
Eropa (kebanyakan Belanda) yang berkunjung ke istana raja-raja di Nusantara
seperti Aceh dan Mataram.
Prajurit
Perempuan di Kerajaan Aceh
Syahdan, penjelajah Belanda yang pertama kali
menginjakkan kaki di Nusantara, tepatnya di Banten pada 1596, adalah Cornelis
de Houtman bersama 87 awak kapal. Tiga tahun kemudian mereka singgah di Aceh.
Saat itu penguasa Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah IV.
Akibat hasutan seorang Portugis kepada Sultan,
kedatangan Cornelis dan para awak kapalnya dicurigai sebagai sesuatu yang
membahayakan. Maka meletuslah pertempuran tanggal 11 September 1599. Sekitar
2.000 Inong Balee yang terdiri atas perempuan itu berperang
menyerang kapal-kapal Belanda.
Inong Balee adalah
para janda pahlawan Aceh yang tewas. Mereka dipimpin oleh Keumala Hayati.
Wanita yang menjabat Kepala Barisan Pengawal Istana dan Panglima Protokol
Kerajaan Aceh inilah yang menghabisi Cornelis de Houtman ketika berhadapan satu
lawan satu di geladaknya sendiri.
Sementara, adik Cornelis, yakni Frederick de
Houtman, ditawan oleh tentara Aceh (dan kemudian menyusun kamus pertama bahasa
Belanda-Melayu di penjara Aceh).
Dua puluh satu tahun kemudian, tahun 1620,
Laksamana Prancis bernama Augustin de Beaulieu datang ke Aceh. Ia menuliskan
bahwa Sultan Aceh (saat itu Iskandar Muda) memiliki 3.000 prajurit perempuan
yang bertugas mengawal istana.
Biasanya mereka, begitu tulis de Beaulieu,
tidak diperbolehkan keluar dari kompleks istana, dan laki-laki tak boleh
menemui mereka. Meski demikian, sejumlah orang lelaki Belanda yang berlayar di
bawah Laksamana Wybrandt van Warwijk pada 1603 sempat bertemu dengan sekumpulan
besar pengawal raja.
Terdiri atas perempuan bersenjata tulup
(sejenis sumpit panjang), tombak panjang, pedang, dan perisai. Tiga tahun
sesudah kedatangan de Beaulieu, seorang Inggris bernama Peter Mundy, dalam
kunjungannya tahun 1637, sempat melihat sekumpulan pengawal perempuan Aceh
berjalan membawa busur dan panah.
Catatn John Davis, seorang nahkota Belanda
berkebangsaan Inggris, pernah menggambarkan keberadaan armada wanita Aceh dan
kebesaran Keumalahayati sebagai laksamana.
Davis yang mengunjungi Aceh pada masa
Keumalahayati menjadi laksamana, memberitakan bahwa Kerajaan Aceh memiliki
perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah galey (perahu
besar), di antaranya ada yang memiliki kapasitas muatan sampai 400-500 orang
penumpang dan yang menjadi pemimpin pasukannya adalah seorang wanita berpangkat
Laksamana.
Selain menjadi laksamana, Keumala dipercaya
oleh Sultan untuk menjadi diplomat yang bertugas bertemu dengan para duta asing
yang memerlukan kerjasama dengan Aceh. Sepak terjang Keumala Hayati (kadang
ditulis Malahayati) rupanya perlu dipaparkan sekilas di sini, untuk mewakili
gambaran prajurit wanita yang bertugas Kerajaan Aceh.
Keumala adalah istri salah seorang laksmana
Kerajaan Aceh yang gugur di Teluk Harus di perairan Malaka ketika bertempur
melawan armada Portugis.
Didorong oleh dendam sekaligus bangga bahwa
suaminya gugur sebagai pahlawan, Keumala memohon kepada Sultan Aceh Sultan
Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil agar dirinya diizinkan membentuk sebuah armada
yang mana seluruh anggotanya adalah janda-janda prajurit yang gugur di Teluk
Haru.
Mengingat Keumala merupakan alumni Akademi
Militer di Aceh, sang Sultan pun mengabulkan permohonannya.Jadilah
Keumalahayati Laksamana bagi ArmadaInong Bale (Para Janda) dengan
menduduki wilayah Teluk Krueng Raya menjadi pangkalannya.
Di wilayah sekitar Teluk Krueng Raya,
Laksamana Keumalahayati kemudian membangun sebuah benteng; benteng Inong
Balee. Armada Inong Balee yang awalnya berkekuatan 1.000 orang membengkang
menjadi 2.000 orang karena para remaja perempuan banyak yang bergabung.
Ada pun, sebelum diangkat sebagai laksamana,
Keumalahayati pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan wanita di Kerajaan Aceh.
Setelah sukses menjabat sebagai Kepala Pasukan di Kerajaan Aceh itu, Keumala
diangkat oleh Sultan menjadi admiral atau laksamana, sebuah pangkat tertinggi
dalam dunia kemiliteran.
Pada 1603, Sultan Al-Mukammil menempatkan anak
laki-laki tertuanya sebagai pendampingnya di atas takhta Aceh. Didorong oleh
ambisinya menjadi sultan, putranya itu menyingkirkan sang ayah dan mengangkat
dirinya sebagai Sultan Aceh bergelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607).
Darmawangsa Tun Pangkat, seorang kemenakan
Sultan pun ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan. Ketika orang-orang
Portugis yang dipimpin Alfonso de Castro menyerang Aceh pada Juni 1606,
Darmawangsa berada dalam penjara.
Sebagai seorang Aceh, Darmawangsa tidak rela
jika negerinya diserang musuh. Ia pun meminta kepada Sultan untuk membebaskan
dirinya agar dapat ikut bertempur melawan Portugis.
Dengan didukung oleh Laksamana Keumalahayati,
permohonan Darmawangsa dikabulkan Sultan. Setelah bebas, Darmawangsa bersama
Keumalahayati menghadapi Portugis di perairan Aceh.
Akhirnya Laksamana Keumalahayati dan
Darmawangsa berhasil memukul pasukan Portugis. Dengan bantuan Laksamana
Keumalahayati, Darmawangsa berhasil menurunkan Sultan All Riayat Syah dari
takhta. Darmawangsa kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda.
Kesaksian orang-orang Eropa itu membawa kita
kepada pengertian bahwa perjuangan Cut Nyak Dien pada awal abad ke-20 merupakan
sebuah “keniscayaan sejarah”. Kaum perempuan telah terbukti bisa memimpin
kendali terhadap kaum pria dalam mengangkat senjata.
Prajurit Estri (Perempuan)
Mataram
Bila Laksamana Augustin de Beaulieu menulis
tentang keberadaan prajurit perempuan di Kerajaan Aceh, maka van Goens dan
Valentijn menuliskan keberadaan prajurit estri di Mataram.
Rikjlof van Goens, yang mengunjungi Mataram
pada medio abad ke-17, memberikan informasi yang menarik mengenai keberadaan
korps prajurit estriwaktu itu. Goens memperkirakan bahwa korps
tersebut terdiri atas 150 wanita muda.
Tiga puluh di antaranya selalu mengawal sang
raja ketika muncul di depan orang banyak; sepuluh dari mereka mengusung
perkakas-perkakas sang raja (bejana air minum, sirih komplet, pipa, keset,
payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian yang akan diberikan kepada tamu
yang disukai raja).
Sementara itu, duapuluh yang lain mengawal
sang raja di semu sisi, lengkap dengan senjata tombak dan tulup (sumpit). Goens
juga menggambarkan bahwa prajuritestri tidak hanya dilatih
memainkan senjata, namun juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik.
Berdasarkan catatan orang-orang Belanda yang
pertama kali berkunjung ke Mataram diketahu bahwa tradisi prajurit estri ini
telah ada sejak zaman Sultan Agung (memerintah hingga 1645 M).
Orang-orang Belanda itu bahwa mereka dikawal
oleh ajudan perempuan. Dari sini kita tak memiliki bukti yang lebih tua yang
membicarakan keberadaan prajurit estridi istana Jawa.
Walau pun prajurit-prajurit itu dipilih dari
perempuan-perempuan tercantik di seantero kerajaan, raja hampir tidak pernah
mengambil mereka menjadi selir. Mereka dianggap lebih beruntung daripada selir
yang tidak boleh menerima tawaran pernikahan dari lelaki lain selama raja masih
hidup dan bahkan setelah sang raja telah meninggal (Kumar, 2008: 5-6).
Francois Valentijn, pendeta Belanda yang
banyak meneliti kekayaan laut di Ambon, pada abad ke-18 mengulangi penggambaran
van Goens mengenai prajurit estritersebut.
Ia menggambarkan bahwa wanita-wanita muda itu
kelihatan “bersemangat dan bangga” ketika “dihadiahkan” pada seorang lelaki
untuk dinikahi. Karena mereka menyadari suami mereka tidak akan berani
memperlakukan mereka dengan buruk karena takut raja akan murka.
Kedudukan prajurit perempuan yang mendua
ini—di satu pihak diperlakukan seperti prajurit profesional namun di lain pihak
diperlakukan seperti perempuan pada umumnya yang bisa “dihadiahkan” begitu
saja—memang tak bisa dihindari.
Kenyataan bahwa prajurit perempuan ini bisa
dihadiahkan kepada siapa saja yang diberi restu oleh raja, melahirkan praduga
dalam diri kita bahwa keberadaan prajurit estri itu dibentuk
hanya sebagai alat politik raja-raja Jawa dalam menjalin hubungan politik
dengan pihak Belanda.
Namun jangan lupa, itu terjadi pada abad
ke-18, ketika posisi perempuan masih ditempatkan di titik subordinat dan
ditentukan hitam-putihnya oleh kekuasaan kaum lelaki. Dan mereka, para prajurit
estri itu, seperti telah disebutkan tadi, walau bagaimana pun lebih
beruntung daripada selir raja atau bupati yang kebebasannya terkungkung
sepenuhnya.
“Catatan
Harian” Seorang Prajurit Estri Mataram
Kesaksian para penulis Belanda terhadap
prajurit estri Mataram tentu merupakan sumber sejarah yang
beharga, namun kita ternyata masih memiliki sumber lain yang mendukung
eksistensi prajurit perempuan di Keraton Mataram.
Sumber itu berasal dari tangan prajurit estri
Mataram sendiri, berupa catatan harian seorang prajurit estri dari
istana Mangkunegara zaman Pangeran Mangkunegara I (1726-1796) yang ditulis pada
abad ke-18.
Sayang, prajurit perempuan di keraton
Mangkunegara ini tidak mencatat nama dirinya.
Melalui catatan harian prajurit perempuan ini,
kita mendapati keterangan mengenai seluk beluk kegiatan para prajurit estri ketika
bertugas mengawal raja hingga berkegiatan di rumah masing-masing.
Bila pulang dari tugas mengawal raja saat
berkunjung ke salah seorang residen dan menembakkan salvo, misalnya, para
prajurit estri melepaskan busana emas gaya lelaki yang mereka
kenakan untuk upacara penyambutan tadi, lalu menggantinya dengan pakaian wanita
putih polos, kemudian langsung pergi berlatih memanah.
Keahlian menembak salvo dipertunjukan kembali
oleh para prajurt estriMangkunagara ketika giliran gubernur
mengunjungi kediaman Mangkunegara. Penulis catatan harian ini menulis bahwa tak
seorang pun pegawai-pegawai Kompeni tersebut (penembakan salvo) yang pernah
menyaksikan pertunjukan serupa di Surakarta, Yogyakarta, maupun Semarang.
Keahlian prajurit estri dalam
menembakkan salvo ternyata dicatat pula oleh sang gubernur, yakni Jan Greeve,
dalam catatan hariannya saat berkunjung ke Surakarta.
Dalam catatan bertanggal 31 Juli, sang
gubernur bercerita tentang penyambutan di loji Belanda dan pertunjukan setelah
itu di kediaman Mangkunegara. Ia bercerita bahwa tiga tembakan salvo tersebut
ditembakkan “dengan teratur dan tepat sehingga membuat kita kagum” oleh “laskar
perempuan itu”.
Sekali lagi sang gubernur terkagum-kagum
menyaksikan laskar perempuan itu menembakkan senjata tangannya sebagai tiga
kali, diikuti tembakan dari senjata kecil (artileri) lain yang diletakkan di
samping mereka.
Itulah sekilas penjelasan mengenai keberadaan
prajurit perempuan di Nusantara. Diperlukan penelitian yang spesifik untuk
lebih mendalami seluk-beluk kebaradaan prajurit estri yang berasal dari masa
yang lebih tua dari abad ke-17. Dengan begitu akan diperoleh data dan fakta
yang lebih komprehensif dan memadai untuk menjelaskan subjek yang kita
bicarakan tadi secara terperinci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar