Beberapa
ahli linguistik berpendapat aksara Batak berasal dari aksara Semit Kuno yang
telah menurun ke wilayah utara, Aramea, ke Brahmi di India Selatan, Pallawa,
baru kemudian ke Pulau Sumatra.
Dasar
penulisan aksara Batak terdiri dari dua perangkat huruf; Ina Ni Surat dan Anak
Ni Surat. Tradisi penulisan aksara Batak diduga berkembang abad ke-13 Masehi.
Dari
cerita lisan yang berkembang pada masyarakat Batak, bahwa nenek moyang mereka,
Siraja Batak yang pertama mengukir aksara Batak agar dapat menuliskan bahasa
Batak. Siraja Batak ini tidak mengetahui bahwa ada bahasa-bahasa lainnya selain
bahasa ibunya. Barulah setelah masyarakat Batak menyebar, mereka tahu bahwa
ada bahasa dan aksara yang mereka temui di luar Tano Batak. Berdasarkan
cerita rakyat tersebut, sedikitnya bisa diambil sebuah gambaran bahwa
bahasa dan aksara batak itu asli, tidak dipinjam, dan merupakan hasil
cipta-karsa orang batak sendiri.
“Buku ‘sihir’ Batak Toba”. Foto Dari Museum
Etnologi, Leiden
Bahasa
Batak
Suku
Batak menuturkan bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak kemiripan. Pun
demikian, beberapa ahli bahasa dapat membedakan sedikitnya dua cabang
utama bahasa Batak yang perbedaannya dinilai sangat besar sehingga satu
sama lain tidak memungkinkan untuk berkomunikasi; Batak Karo di wilaya utara
dengan Batak Toba di wilayah selatan.
Bahasa
Angkola, Mandailing, dan Toba diklasifikasikan ke dalam rumpun selatan,
sedangkan bahasa Karo dan Pakpak, Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa
Simalungun dianggap sebagai bahasa yang berdiri di antara rumpun utara dan
rumpun selatan. Namun secara historis bahasa Simalungun diduga merupakan cabang
lain bahasa rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan, sebelum
bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk.
Aksara
Batak pada media bambu”. Foto dari Tropenmuseum
Dialek
dari Batak Simalungun dari segi usia penggunaannya diduga lebih tua dari cabang
dialek wilayah selatan.Bahasa Karo dan Simalungun meskipun dianggap sebagai dua
bahasa yang berbeda dan antar penuturnya sulit untuk berkomunikasi. Akan tetapi,
di wilayah-wilayah perbatasan Karo dan Simalungun umumnya tidak ada masalah
komunikasi karena bahasa di wilayah perbatasan telah terjadi penyerapan dan
masing-masing bahasanya telah memiliki banyak kata pinjaman dari seberang
perbatasan mereka.
Hal
demikian terjadi bukan pada bahasa saja, budaya pun ikut berakulturasi hingga
tidak ada lagi perbedaan yang mencolok di antara desa-desa Simalungun dan Karo
di wilayah perbatasan. Demikian halnya di daerah perbatasan antara Karo dan
Pakpak, juga perbatasan Pakpak dan Toba.
Bahasa
Angkola, dan Mandaling tidak banyak berbeda. Jika ditelaah lebih jauh,
bahasa-bahasa tersebut mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga umumnya
disebut bahasa Angkola-Mandaling. Dengan adanya kesinambungan dan perkembangan
antara suku-suku Batak, tidak lah mengherankan bahwa tidak ditemukan perbedaan
yang jelas antara varian-varian dari surat Batak.
Dialek:
(Linguistik); variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (contoh: bahasa
dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu
tertentu);Selain Batak Karo, bahasa yang dipakai masyarakat di wilayah utara
adalah dialek Alas termakuk kelompok non-Batak, dialek Batak Pakpak Dairi, dan
pelbagai dialek turunannya. Ada pun kelompok selatan yang meliputi Batak Toba
dan Angkola Mandailing.
Sebagai
akibat dari masa kolonialisme Belanda pada abad ke-19—berkobar perang
antara rakyat Batak dengan kolonial—banyak orang Batak Toba pindah ke beberapa
tempat; Dairi, Simalungun, dan hingga ke Alas. Kini, bahasa Toba banyak
dituturkan di wilayah Pematangsiantar hingga Sidikalang.
Rumpun
Bahasa Batak
Hampir
semua dialek dari bahasa Batak yang sekarang ada diperkirakan berasal atau
diturunkan dari Batak tua (proto language). Sebagian kosakata, melalui hasil
studi perbandingan sejarah bahasa, justru diwariskan rumpun batak Utara.
Dalam hal ini rumpun utara dianggap melestarikan bentuk asli misalnya.
Kata
untuk bilangan tiga dalam bahasa Batak Tua adalah tělu yang sekarang
diwarisi oleh rumpun Batak Utara. Sedangkan rumpun Batak Selatan terjadi
pergeseran dari [ě] menjadi [o]. Sehingga tělu berubah menjadi tolu.
Akan tetapi, banyak juga contoh bentuk asli yang digunakan rumpun selatan.
Varian
surat Batak secara umum dapat dibagi menjadi Angkola-Mandaling, Karo, Pakpak,
Simalungun, dan Toba. Namun, harus juga diingat bahwa baik dari bahasa, budaya,
dan tulisan selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku kelompok
tersebut, meskipun kelimanya mempunyai induk yang sama.
Sistem
Aksara Batak
Aksara
Batak tidak digunakan pada media tulisan seperti pada batu (berupa prasasti)
atau pada lempengan logam—dimungkinkan pernah digunakan tetapi belum ditemukan.
Aksara Batak lebih banyak digunakan dalam media tulis berupa tabung bambu,
kulit kayu, dan juga kertas.
Semisilabis:
(Linguistik); bersifat setengah silabis; Lihat istilah /Silabis/: berdiri
sendiri sebagai suku kata. Aksara Batak memiliki persamaan dengan aksara
Kaganga meliputi aksara Rencong, aksara Kerinci, aksara Lampung, aksara Rejang,
dll. Kemungkinan, aksara Batak memiliki rumpun bahasa tua yang sama dengan
aksara Kaganga.
Aksara
Batak adalah sistem aksara semisilabis yang terdiri dari 19 induk
huruf yang masing-masing wilayah terdapat sedikit perbedaan dalam cara
menuliskannya—tergantung pada dialeknya.
Sistem
aksara ini memiliki 5 hingga 7 tanda diakritik untuk menandai vokal dan konsonan
akhir, atau huruf anak. Diakritik adalah tanda tambahan pada huruf yang sedikit
banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, contoh. tanda /’/ pada fonem /e/hingga
menjadi /é/.
Nasal:
(Linguistik); bersangkutan dengan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan
mengeluarkan udara melalui hidung; alias sengau. Selain vokal dan
konsonan, dalam sistem aksara Batak dikenal tanda baca yang disebut pangolat dan saringar.
Pangolat adalah
tanda baca yang digunakan untuk mematikan aksara konsonan. Sedangkan saringar memiliki
fungsi membuat bunyi vokal dan nasal (-ng) pada huruf konsonan
seperti e, i, o, u, ing, ng, dan ong.
Berikut
bagan aksara vokal dan konsonan pada sitem aksar Batak dari beberapa wilayah;
Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak:
Bahasa
dan Aksara batak; Vokal dan Konsonan
Berikut
adalah bagan pangolat dan saringar beserta contoh
menggunakannya:
Bahasa
dan Aksara batak; Pangolat dan Saringar
Pustaha, “Buku”
Orang Batak
Pustaha adalah
naskah seperti alat musik akordeon, terbuat dari kulit kayu Gaharu (Aquilaria
malaccencis). Pustaha adalah salah satu media bagi orang Batak untuk
menuliskan hal-hal yang menurut mereka penting pada masa lalu.
Pustaha
Batak” Foto dari Tropenmuseum
Kulit
kayu Garu itu dikeringkan, kemudian dilipat lalu ditempelkan kayu pada dua
sisinya sebagai sampul dan juga sebagai pengikat. Teradang digunakan jalinan
rotan untuk mengikat pustaha ini. Tinta untuk menulis berasal dari
sampuran jelaga, damar dan beberapa jenis getah pohon.
Dahulu, pustaha digunakan
oleh Datu atau para Guru dan dukun. Misalnya menulis pelaksanaan ritual
keagamaan, cara menafsirkan pertanda alam, resep meracik obat, dll. Sepertinya
hal-hal yang sifatnya administrasi tidak dimuat dalam pustaha.
Karya
sastra baik itu berasal dari legenda dan atau mitos juga tidak diabadikan dalam pustaha. Untuk
urusan cerita rakyat, Orang Batak sepertinya percaya dengan peran turi-turian,
yaitu tradisi lisan.
Selain
dari kulit kayu, masyarakat Batak, menggunakan bahan-bahan dari bambu sebagai
media menuliskan aksara Batak dengan menggunakan pisau tajam yang ditorehkan
pada lapisan kulit bambu.
Media
lainnya yang digunakan untuk menulis aksara batak adalah alat-alat yang
dipergunakan sehari-hari seperti alat musi terutama suling, kotak sirih-kapur,
sekoci tenun, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar